Hilangnya Alam ku (Tambung)
Taman Bunga, ya itulah nama
Tempat dimana aku dilahirkan. Tapi sebenarnya namanya Tambung, Entah dapat
pencerahan dari mana sampai diperpanjang ataupun diplesetkan menjadi Taman
Bunga, soalnya banyak yang protes, kalo sebenernya taman bunga Cuma ada di kota
bagian timur Madura. Yah, apapun itu, tetap saja Desa, gak bakalan berubah
menjadi kota. Tambung memiliki banyak kenangan yang mungkin takkan pernah
terlupakan, kenangan masa kecil yang merupakan masa terindah buat bermimpi.
Tambung,
dengan penduduk sekitar 1000 jiwa dari berbagai kalangan dan berbagai profesi,
tetapi anehnya tidak ada kasta diantara mereka, semua sama dan itu benar-benar
mengagumkan.
Disinilah aku besar, mengenal
hidup, dan berinteraksi dengan orang-orang terbaik, di sini pula aku mengenal
arti cinta, ya cinta monyet tepatnya. Cinta yang tumbuh di waktu masih SD, lucu
kan? Prosesnya juga aneh, Cuma karena dikerjain sama temen-temen dan
dicomblangin gitu. Aku gak pernah nyapa dia sampai sekarang, karena malu.
hahaha, benar-benar mengesankan.
Tambung adalah tempat yang
nyaman, desanya aman dan alamnya sejuk. Disinilah aku selalu mengisi energi
ketika penat. Me-recycle sampah-sampah otak hingga kembali fresh untuk akhirnya
melanjutkan aktifitas yang sangat penat. Mulai dari sekolah, Tugas dan
sebaginya. Bahkan ketika pergi merantau ke kota sebelah, begitu berat rasanya
meninggalkan alam tercinta, tak bisa melihat padi bergoyang ketika dihembus
pasukan angin dan tidak bisa mendengar lantunan musik terindah dari kicauan
burung. Menyedihkan.
Yah semuanya terlalu indah untuk
sekedar diluapkan dalam bentuk tulisan, terlalu manis untuk dilukiskan dengan
kata-kata. Dan terlalu dramatis sekali jika harus diceritakan.
Tetapi,,,,,,
Keadaan berubah, semua tidak
seperti dulu, alamku telah berubah, desaku tak lagi seperti dulu. Globalisasi
adalah racun dan ranjau yang menghancurkan desaku, bagaimana tidak, semua sawah
sawah yang membiru, maksudku menghijau kini sudah jarang. Warna hijau yang
menghiasi sepanjang jalan kini sudah berubah menjadi gedung dan gudang. Ya!
Sampah gedung itu telah mengotori alamku. Semuanya berubah. Tetapi untungnya
peradaban kita masih belum berubah, tetap seperti dulu, toleransi juga masih
berjalan, gotong royong dan saling membantu tetap lestari. Namun, yang aku
takutkan, itu adalah strategi penjajah komunis yang meniru fase pertumbuhan
bakteri, dimana fase lag mereka
menempati suatu tempat, terus beradaptasi dan memperbanyak keturunan (fase log), pada fase stasioner mereka memberikan yang terbaik untuk orang-orang
sekitar dan fase death, bukan mereka
yang mati, tetapi mereka yang membunuh kami, ya, membunuh peradaban kami yang
sudah turun-temurun, jika memang benar itu yang terjadi, picik sekali mereka,
tetapi disini masih ada aku yang akan terus mengawasi kalian wahai para
penjajah, kalian tak akan ku biarkan melakukan kerusakan yang lebih parah JJJ
Yah, mau dikata apa lagi, siapa
yang harus disalahkan atas kerusakan ini? Yang lebih menyakitkan, para leluhur
kita sudah pada tua semua, siapa yang akan melanjutkan? Iya kalau waktu itu ada
aku, kalo tidak ada? JJJ
Sunguh apa yang akan kita ceritakan pada anak cucu tentang Tambung? Bagaimana
mereka bisa menikmati indahnya Tambung, terus mau makan apa anak cucuku ketika
semua sawah yang ditanami menjadi sampah-sampah gudang yang berserakan
sepanjang jalan.
Haruskah keindahan alam Tambung
menjadi sejarah yang tidak di bukukan? Haruskah keindahan dan kesejukan alam
tambung dilukiskan dengan kata-kata kepada cucu kita? Puaskah mereka? Tentu
mereka akan mejawab tidak, mereka akan menjerit, KEMBALIKAN ALAM DAN DESA KAMI,
dan kalian tau? Ketika mereka menjerit, semua komunis dan kaum penjajah yang
ada di sekitar kita sedang meminum anggur dan berpesta sambil tertawa riang
merayakan kemenangan. PICIK!!!!!
0 comments:
Post a Comment