Pages

Thursday, March 7, 2013

Hilangnya Alam ku (Tambung)

Hilangnya Alam ku (Tambung)


Taman Bunga, ya itulah nama Tempat dimana aku dilahirkan. Tapi sebenarnya namanya Tambung, Entah dapat pencerahan dari mana sampai diperpanjang ataupun diplesetkan menjadi Taman Bunga, soalnya banyak yang protes, kalo sebenernya taman bunga Cuma ada di kota bagian timur Madura. Yah, apapun itu, tetap saja Desa, gak bakalan berubah menjadi kota. Tambung memiliki banyak kenangan yang mungkin takkan pernah terlupakan, kenangan masa kecil yang merupakan masa terindah buat bermimpi.


Tambung, dengan penduduk sekitar 1000 jiwa dari berbagai kalangan dan berbagai profesi, tetapi anehnya tidak ada kasta diantara mereka, semua sama dan itu benar-benar mengagumkan.
Disinilah aku besar, mengenal hidup, dan berinteraksi dengan orang-orang terbaik, di sini pula aku mengenal arti cinta, ya cinta monyet tepatnya. Cinta yang tumbuh di waktu masih SD, lucu kan? Prosesnya juga aneh, Cuma karena dikerjain sama temen-temen dan dicomblangin gitu. Aku gak pernah nyapa dia sampai sekarang, karena malu. hahaha, benar-benar mengesankan.
Tambung adalah tempat yang nyaman, desanya aman dan alamnya sejuk. Disinilah aku selalu mengisi energi ketika penat. Me-recycle sampah-sampah otak hingga kembali fresh untuk akhirnya melanjutkan aktifitas yang sangat penat. Mulai dari sekolah, Tugas dan sebaginya. Bahkan ketika pergi merantau ke kota sebelah, begitu berat rasanya meninggalkan alam tercinta, tak bisa melihat padi bergoyang ketika dihembus pasukan angin dan tidak bisa mendengar lantunan musik terindah dari kicauan burung. Menyedihkan.
Yah semuanya terlalu indah untuk sekedar diluapkan dalam bentuk tulisan, terlalu manis untuk dilukiskan dengan kata-kata. Dan terlalu dramatis sekali jika harus diceritakan.
Tetapi,,,,,,
Keadaan berubah, semua tidak seperti dulu, alamku telah berubah, desaku tak lagi seperti dulu. Globalisasi adalah racun dan ranjau yang menghancurkan desaku, bagaimana tidak, semua sawah sawah yang membiru, maksudku menghijau kini sudah jarang. Warna hijau yang menghiasi sepanjang jalan kini sudah berubah menjadi gedung dan gudang. Ya! Sampah gedung itu telah mengotori alamku. Semuanya berubah. Tetapi untungnya peradaban kita masih belum berubah, tetap seperti dulu, toleransi juga masih berjalan, gotong royong dan saling membantu tetap lestari. Namun, yang aku takutkan, itu adalah strategi penjajah komunis yang meniru fase pertumbuhan bakteri, dimana fase lag mereka menempati suatu tempat, terus beradaptasi dan memperbanyak keturunan (fase log), pada fase stasioner mereka memberikan yang terbaik untuk orang-orang sekitar dan fase death, bukan mereka yang mati, tetapi mereka yang membunuh kami, ya, membunuh peradaban kami yang sudah turun-temurun, jika memang benar itu yang terjadi, picik sekali mereka, tetapi disini masih ada aku yang akan terus mengawasi kalian wahai para penjajah, kalian tak akan ku biarkan melakukan kerusakan yang lebih parah JJJ
Yah, mau dikata apa lagi, siapa yang harus disalahkan atas kerusakan ini? Yang lebih menyakitkan, para leluhur kita sudah pada tua semua, siapa yang akan melanjutkan? Iya kalau waktu itu ada aku, kalo tidak ada? JJJ Sunguh apa yang akan kita ceritakan pada anak cucu tentang Tambung? Bagaimana mereka bisa menikmati indahnya Tambung, terus mau makan apa anak cucuku ketika semua sawah yang ditanami menjadi sampah-sampah gudang yang berserakan sepanjang jalan.
Haruskah keindahan alam Tambung menjadi sejarah yang tidak di bukukan? Haruskah keindahan dan kesejukan alam tambung dilukiskan dengan kata-kata kepada cucu kita? Puaskah mereka? Tentu mereka akan mejawab tidak, mereka akan menjerit, KEMBALIKAN ALAM DAN DESA KAMI, dan kalian tau? Ketika mereka menjerit, semua komunis dan kaum penjajah yang ada di sekitar kita sedang meminum anggur dan berpesta sambil tertawa riang merayakan kemenangan. PICIK!!!!!

0 comments:

Post a Comment