Pages

Sunday, March 3, 2013

motivasi

Motivasi Dari Karedok

Seperti biasa ketika semuanya terasa begitu berat, ku pacu kendaraan butut ini melintasi jalanan. Blusukan keberbagai pojok kota demi mendamaikan suasana hati. Tak bisa sepenuhnya mengatasi masalahku memang, tapi setidaknya ini bisa menguatkan.

Perjalananku terhenti disebuah kios, atau bisa juga disebut gerobak kaki lima yang kali ini menjual sebuah penganan asing di lidahku, tapi cukup sering kudengar namanya. Karedok, itulah yang dijual seorang bapak yang berada dibalik gerobak kecil terparkir di depan kios kecil tersebut.

Penampakan Karedok
“Karedok mas, satu porsi makan disini” pesanku demi mengobati penasaran pada makanan tersebut. Baru saja mas-mas tersebut menyiapkan makanannya, aku sudah merasa tidak tertarik dengan makanan ini. Meski terbalut dengan sambal kacang yang notabenenya salah satu sambal favoritku, ternyata karedok disajikan dengan menggunakan sayur mayur yang nggak dimasak. Meski kata si penjual bahwa sayur mayur yang digunakan adalah sayur mayur segar, tetap saja hatiku ragu untuk mencicipinya.

“ah, mubazir nih kalo nggak dimakan. Lha wong sudah terlanjur dipesan” gumamku dalam hati. Ku ambil sedikit bagian sisi sajian, berharap semoga rasanya tak sesuai dengan perkiraan. Satu jenis sayuran entah apa namanya mengenai lidahku. Aneh memang rasanya, sensasi pahit bercampur rasa kacang. Tak begitu buruk pikirku.

“Gimana kang karedoknya? Enak” kata penjual itu.

“Lumayan” kataku.

“Tadi kelihatan dari muka akang, kaya nggak suka gitu sama karedok, ternyata doyan juga” sambungnya.

“Owh, saya emang nggak terlalu suka sama sayuran apalagi yang mentah.” Jawabku.

“Semua rasa itu tergantung hati, kalo hati akang udah suudzan aja, ya semuanya terasa buruk. Jangan terlalu menuruti apa kata mata karena apa yang terlihat itu belum tentu menggambarkan apa ang sesungguhnya terjadi.” Kata penjual itu sambil tersenyum.

Super sekali kata-kata motivasi yang diberikan tukang karedok ini, nggak kalah deh sama om Mario Teguh.

“Karedok ini berasal dari daerah mana sih mas ?” tanyaku penasaran.

“Sunda kang, saya juga aseli Sunda loh, hehe.” Jawab si pedagang.

“Sudah lama di Kalimantan?” tanyaku lagi.

“Dari tahun 2004, tapi jualan Karedoknya baru 3 bulan.” Jawabnya.

“Sebelumnya kerja apaan?”

“Di perusahaan, cukup besar. Tapi saat itu saya mengundurkan diri dan memutuskan untuk jualan karedok aja”

“Kenapa mas? Gajinya kurang ya? Dari karedok sendiri dapat penghasilan berapa?”

“Ini bukan masalah Gaji mas, tapi masalah hati. Saya kurang srek aja kerja diperusahaan. Saya sudah jatuh cinta sama masakan Sunda, salah satunya ya Karedok. Meski banyak orang yang nyebut saya bodoh karena rela ninggalin perusahaan untuk jualan karedok, tapi nggak terlalu buruk. Bukankah yang saya bilang tadi bahwa nggak selamanya yang terlihat oleh mata itu merupakan sesuatu yang benar-benar terjadi. Doakan aja mas semoga saya bisa membangun sebuah Restoran Sunda di tanah ini. Saya lihat nggak ada tuh Restoran sunda di Banjarmasin. Selain itu saya ingin lebih memperkenalkan budaya saya lewat Restoran tersebut karena saya bangga dengan itu.” Kata pedagang itu dengan percaya dirinya.

Sontak saya terdiam dengan jawaban tersebut. Saya teringat tentang hati saya yang terlalu sakit ketika menerima kenyataan bahwa nilai saya anjlok pada semester ini. Padahal semua itu hanya sebuah penilaian subyektif, bukan sebuah jaminan kesuksesan. Nilai-nilai ini terlihat buruk jika dilihat dari mata, tapi belum tentu merupakan sesuatu yang buruk. Saya malu dengan pedagang ini karena ia dapat meninggalkan posisi nyamannya demi sesuatu yang dia impikan. Sedangkan saya, hanya bisa mengeluh dengan berkutat didalam masalah. Saya mulai berfikir tentang sesuatu yang benar-benar saya cintai dan sesuatu yang saya ‘kawini’.

“Saya juga punya cita-cita membuat Budaya Banjar Go Nasional mas, bahkan Go Internasional. Terutama untuk kain sasirangan” Tutupku.

“Semoga berhasil kang, percaya aja Tuhan bersama kita. Dia nggak akan meninggalkan kita dalam keadaan apapun, bahkan ketika sahabat terbaik tak mampu lagi menemani.” Tanggapnya.

Tak terasa karedok di piring beralas daun pisang ini habis ku lahap.

“Berapa mas?”

“Lima ribu”

Kuserahkan uang pas lima ribuan. Kupacu kembali sepeda motor butut itu meninggalkan gerobak karedok tersebut.

Setidaknya aku sedikit mendapat beberapa pelajaran dari seorang pedagang karedok. Tak perlu melihat siapa dan memakai apa untuk mengambil sebuah pelajaran karena dari seorang pedagang karedok pun kita bisa mendapatkannya. Dan kutipan yang paling saya ingat adalah,

“Jangan terlalu menuruti apa kata mata karena apa yang terlihat itu belum tentu menggambarkan apa ang sesungguhnya terjadi”

0 comments:

Post a Comment